Monday, April 1, 2013

Mekanisme Pertahanan Diri 3


Oleh : Hamim T. Majdi
(bagian ketiga)

PROYEKSI : BERTAHAN DENGAN KAMBING HITAM 

            Istilah kambing hitam sudah sangat ramah ditelinga kita, dan kita juga sudah faham bahwa kambing hitam bukanlah jenis kambing yang berbulu hitam, apakah itu kambing etawa, kambing kali gesing, kambing gibas atau jenis kambing lainnya. Kambing hitam bermakna orang yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah, tetapi dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan. Sedangkan mengkambing hitamkan berarti menjadikan kambing hitam atau mempersalahkan, menuduh bersalah. Contoh sikapnya selalu mengkambing hitamkan orang lain, sedangkan sebenarnya dia sendiri yang berbuat. Penggunaan istilah kambing hitam biasanya merujuk pada suatu peristiwa yang tidak ditemukan atau belum diketahui penyebab peristiwa sesungguhnya atau dengan sengaja menuduh atau menunjuk orang lain sebagai penyebab atau orang yang melakukan kesalahan sehingga dirinya terbebas dari tuduhan atau sangkaan atas apa saja yang telah dilakukan, padahal sebenarnya dia yang berbuat 


            Pemahaman sederhana mengkambing hitamkan orang lain sering dimaknai secara politis, yaitu strategi untuk menyelamatkan diri dari peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan atau tidak disenangi oleh banyak orang. Namun bila kita mau mengkaji secara lebih mendalam utamanya kajian psikologis maka upaya mengkambing hitamkan orang lain adalah bagian dari upaya pertahanan diri yang disebut dengan proyeksi

Pengertian proyeksi

            Pengertian umum tentang proyeksi sebagaimana yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia mempunyai dua arti yaitu ; pertama, gambar suatu benda yang dibuat rata (mendatar) atau berupa garis-garis pada bidang datar. Kedua, perkiraan tentang keadaan masa yang akan datang dengan menggunakan data yang ada (sekarang). Dalam psikologi istilah proyeksi pertama kali dikemukakan oleh Freud di dalam karyanya The Anxiety Neurosis yang diterbitkan pada tahun 1894, Freud menulis bahwa : Psyche (jiwa) akan mengembangkan suatu kecemasan neurotik apabila psyche merasa tidak berdaya untuk mengatasi rangsangan-rangsangan (seksual) yang berasal dari dalam (endogenous), sehingga rangsangan-rangsangan tersebut akan diproyeksikan ke dunia luar.

Dua tahun kemudian Freud memberikan elaborasi lebih jauh terhadap konsep proyeksi, sebagaimana tertuang dalam bukunya On the Defense Neuropsychoses. Dikemukakannya secara lebih eksplisit, bahwa; Proyeksi adalah suatu proses pemetaan (pelampiasan ke luar) dorongan-dorongan, perasaan-perasaan dan sentimen-sentimen seseorang kepada orang lain atau ke dunia luar, sebagai proses yang bersifat defensif, dimana orang yang bersangkutan tidak menyadari munculnya gejala yang di luar kehendaknya (undesireable phenomena). Kartini Kartono menyebut bahwa proyeksi adalah usaha mensifatkan, melemparkan atau memproyeksikan sifat, fikiran dan harapan yang negatif, juga kelemahan dan sikap sendiri yang keliru kepada orang lain.  Dolah dan Holladay  berpendapat bahwa proyeksi adalah contoh dari cara untuk memungkiri tanggung jawab terhadap implus-implus dan pikiran-pikiran dengan melimpahkan kepada orang lain dan tidak pada diri sendiri. Secara sederhana proyeksi dapat didefinisikan sebagai usaha untuk mempertahankan diri dengan cara mengalihkan atau memindahkan penyebab kegagalan atau tidak tercapainya suatu keinginan kepada luar dirinya bisa berupa orang lain, benda, situasi bahkan hal-hal yang bersifat supranatural.

Bentuk proyeksi
            Penggunaan istilah proyeksi dalam perkembangannya ternyata bukan hanya Freud saja, beberapa ahli psikologi yang menggunakan proyeksi sebagai pendekatan psikologis adalah Frank, Bealy, Bromier, dan Bowers serta Ballak, sehingga konsep proyeksi menjadi semakin lengkap dan akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa proyeksi mempunyai tiga bentuk atau proyeksi dilakukan dengan tiga cara yaitu ;

Pertama, menyalahkan sebab yang terjadi kebetulan, tidak relevan atu berupa khayalan, misalnya seorang anak tiba-tiba menangis dengan keras kemudian memeluk ibunya dengan kuat, ketika ibunya bertanya “sayang,  kenapa nangisnya kenceng sekali?” dengan terbata-bata karena takut dimarahi ibunya, maka sang anak menjawab “adik jatuh tersandung batu di depan rumah, hiiii serem di batu ada hantu casper adik takuuuuut, atau sebaliknya sang ibu menghibur anaknya yang sedang menangis karena tertimpa kursi, lalu si ibu berkata “sudah diam sayang, ni kursinya ibu pukul, dasar kursi nakal”
Kedua, melihat kekurangan atau kelemahan kepribadian yang dimiliki orang lain atau yang dianggap lawan. Contoh anak-anak yang suka berantem atau suka marah-marah, maka ketika mereka ditanya “siapa yang memukul duluan”,  spontan mereka menjawab “kalau kami tidak memukul duluan, maka kami yang akan dipukul duluan pak”
Ketiga, menyalahkan orang lain atau hal-hal lain karena perilakunya tidak patut sehinga mengalami kegagalan, beberapa contoh di antaranya ; eksekutor tendangan finalti yang gagal memasukkan bola ke gawang, lantas berujar “wah gawangnya kelihatan kecil, sehingga sangat sulit aku memasukkan bola” atau “sudah aku sampaikan pada pelatih, aku tidak mau mengeksekusi pinalti, ya ini jadinya tidak masuk”, contoh lain seorang guru jatuh cinta kepada muridnya, ketika sang guru ditanya mengapa pak guru cinta sama muridnya ? dengan enteng pak guru menjawab “ya muridnya itu lho setiap hari merayu ku, bagaimana aku tidak tertarik padanya”
Bahaya Proyeksi
            Menyalahkan orang lain atau sesuatu yang bisa disalahkan dalam upaya menghindarkan diri dari tuduhan kesalahan atau menghindari dari hukuman karena kesalahannya, pada prinsipnya bisa membuat diri puas, atau bisa menghilangkan kecemasan karena dirinya tidak jadi menanggung malu atau mendapat hukuman, namun pada akhirnya orang lain yang justru menjadi korbannya. Freud menggambarkan bahwa proyeksi sebagai salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri yang  menggambaran proses ketidak sadaran untuk melindungi diri dari kecemasan melalui pemutarbalikan kenyataan. Namun strategi-strategi ini tidak mengubah kondisi objektif  bahaya yang dihadapi, dan hanya mengubah cara seseorang mempersepsi atau memikirkan masalah itu dengan meyalahkan orang  lain atau sesuatu yang bisa disalahkan.

Bentuk pertahanan diri melalui proyeksi ini melibatkan unsur “penipuan diri”, seperti kata pepatah “lempar batu sembunyi tangan”, bisanya hanya membuat keonaran tetapi ogah mengakuinya apalagi bertanggung jawab, merasa puas atau enjoy bila bisa menuduhkan kesalahan dirinya kepada orang lain. Penipuan diri dengan cara proyeksi (mencari kambing hitam) secara psikologis sejatinya tidak bisa menghilangkan kecemasan secara tuntas,  yang didapatkan hanyalah kepuasan sementara dan bahkan menambah kecemasan, sebab dirinya selalu berpura-pura tidak melakukan apa yang dituduhkan kepada orang lain serta memendam kecemasan jangan-jangan suatu saat kesalahannya akan terbongkar atau orang lain tahu sebenarnya dirinya yang melakukan, sehingga dalam hidupnya selalu dihinggapi kegalauan yang tiada henti.

Tugas Pendidikan
            Di antara tugas pendidikan adalah membentuk karakter peserta didik yang bertanggung jawab, siap mempertanggung jawabkan apa yang telah diperbuat, berani berbuat berarti harus berani bertanggung jawab, proses pendidikan selalu menghindari lahirnya pribadi-pribadi pengecut, menjauh dari masalah dan lari dari kenyataan. Hidup ini selalu berhadapan dan berjalan dengan kenyataan, tiada satupun yang kita lalui berseberangan dengan kenyataan, karenanya pendidikan perlu menekankan pemahaman dan praktek tentang teori sebab akibat, misalnya pengajaran pepatah “tiada asap tanpa api” artinya setiap  kejadian pasti ada aktornya atau pelakunya. Penegakan disiplin merupakan salah satu pelatihan bertanggung jawab, para guru dalam menegakkan disiplin perlu menerapkan asas keseimbangan antara hadiah dan hukuman, dan lebih ideal lagi bila mendahuluan prinsip pemberian hadiah. Siapapun akan merasa senang bila ada iming-iming hadiah, begitu juga semua orang takut akan hukuman atau sanksi

            Lebih tepat lagi bila para guru memberikan contoh sikap kesatria kepada muridnya, bila memang guru merasa berbuat salah terhadap murid, maka jangan segan atau malu meminta ma’af kepada muridnya, sehingga para murid akan mengikuti jejak gurunya begitu berbuat salah langsung meminta ma’af. Pemberian sanksi dengan proses yang salah juga berakibat tidak baik bagi siswa, pemberian sanksi semau gue  tanpa mau mendengarkan alasan-alasan sang murid membuat siswa enggan mengakui kesalahannya dan akhirnya setiap siswa yang salah selalu mencari-cari alasan bahkan menuduh teman-temannya yang melakukan kesalahan tersebut. Akhirnya, perjalan hidup ini akan semakin indah bila kita mampu memahami kenyataan hidup apapun bentuknya (senang-susah, sukses-gagal, salah-benar, menang-kalah) dan perlu kita pahami bahwa setiap kesedihan atau kesusahan akan dibarengi dengan kebahagian dan kemenangan bila dilakukan dengan sunguh-sungguh (bersambung)
Hamim T.  Majdi
Magister Psikologi Pendidikan
Direktur LPDK Argopani Cendekia Lumajang

0 komentar:

Post a Comment