Oleh : Hamim T. Majdi
(bagian kelima)
RASIONALISASI
USAHA MENGHIBUR DIRI
Seperti halnya represi dan sublimasi, rasionalisasi sebagai
salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri yang digagas oleh Sigmund Freud mempunyai
banyak sisi positif yang bisa diperoleh. Salah satu sisi positifnya adalah
mampu membuat suasana menjadi netral dan dalam
keadaan apapun mampu menghadapi dan menjalaninya, walaupun Freud sendiri
mengatakan bahwa rasionalisasi adalah upaya menipu diri.
Pengertian umum
Kamus Besar Bahasa
Indonesia memuat tiga makna rasionalisasi yaitu ; pertama, diantaranya adalah proses, cara, perbuatan menjadikan
bersifat rasional; proses, cara, perbuatan merasionalkan (sesuatu yang mungkin
semula tidak rasional). Kedua, proses, cara, perbuatan yang rasional
(menurut rasio) atau menjadikan nisbahnya patut (baik). Ketiga, yang mengarah kepada bidang ekonomi yaitu perbaikan dalam perusahaan dengan menghemat
tenaga kerja dan biaya serta mempertinggi produksi; perbaikan nisbah antara
berbagai komponen dalam perusahaan sehingga perusahaan menjadi lebih baik.
Sedangkan
dalam Kamus Lengkap Psikologi yang ditulis J.P Chaplin. Rasionalisasi kata aslinya
adalah rasionalitas dan rasionality, yaitu keadaan atau
kualitas kelayakan, atau hal yang masuk akal. Dalam psikologi rasionalisasi
mempunyai dua pengertian :
- Proses menjelaskan atau menafsirkan alasan-alasan bagi satu gejala.
- Proses pembenaran kelakuan sendiri, dengan menyajikan alasan yang masuk akal atau yang bisa diterima secara sosial untuk menggantikan alasan yang sesungguhnya.
Wikipedia
Ensiklopedi bebas menyebutkan dalam psikologi dan logika, rasionalisasi
(atau alasan pembuatan) adalah
mekanisme pertahanan yang dianggap sebagai perilaku yang kontroversial atau
perasaan yang dijelaskan secara rasional atau logis untuk menghindari
penjelasan yang benar atau kejadian yang sesungguhnya.
Rasionalisasi
dan Penipuan Diri
Sigmund
Freud sebagaimana yang ditulis E. Koswara dalam bukunya yang berjudul
“Teori-Teori Kepribadian” memberikan
istilah rasionalisasi menunjuk kepada upaya individu menyelewengkan atau
memutar balikkan kenyataan, dalam hal ini kenyataan yang mengancam diri,
melalui dalih atau alasan tertentu yang seakan-akan masuk akal, sehingga
kenyataan tersebut tidak lagi mengancam dirinya. Menurut Mudji Sutrisno SJ, Rasionalisasi adalah usaha membenar-benarkan pendapat,
argumen, atau posisi diri dengan cara memberi dasar-dasar rasional dan masuk
akal, namun sebenarnya palsu atau pembenaran-pembenaran logis untuk memenangkan
kepentingannya sendiri.
Lebih lanjut Mudji Sutrisno SJ menyebut
bahwa rasionalisasi ini bersaudara dengan penggunaan akal budi sebagai “alat”
(instrumen) untuk membenarkan rasional logis,tetapi untuk benarnya sendiri agar
tercapai “udang di balik batu” alias
maksud tersembunyi yang mau menyingkirkan lawan atau menangguk keuntungannya
sendiri dengan licik lihai seolah logis masuk akal, namun “busuk”bagi lawan
kepentingan. Kartini Kartono menyatakan, jika
seseorang mengalami frustasi dan kegagalan, biasanya ia selalu mencari
kesalahan dan sebab musababnya pada orang lan ; atau mencarinya pada keadaan di
luar dirinya. Dia menganggap dirinya paling benar, dan orang lain atau kondisi
dan situasi luar yang menjadi biang keladi dari kegagalannya. Dia tidak mau
mengakui kesalahan dan kekurangan diri sendiri. Ia selalu berusaha
membelai-belai harga dirinya. Semua pujian dari luar dan pembenaran diharapkan
mampu memuaskan perasaan sendiri, dan bisa membelai-belai harga dirinya.
Oleh karena itu Rasionalisasi oleh
Kartini Kartono dikatagorikan sebagai bentuk pertahanan atau pelarian diri dari
frustasi yang negatif, sebagaimana ia mendefinisikan Rasionalisasi ialah cara
menolong diri sendiri secara tidak wajar, atau teknik pembenaran diri dengan
membuat sesuatu yang tidak rasional serta tidak menyenangkan menjadi hal yang
“rasional” dan “menyenangkan-memuaskan” bagi diri sendiri. Jadi pada prinsipnya rasionalisasi
sebagai salah satu bentuk pertahanan diri dengan cara menipu diri sendiri dalam
menghadapi kenyataan yang ada dengan mempermainkan kata-kata atau menafsiri
keadaan yang bisa menguntungkan dirinya, dan seakan-akan tidak mempedulikan
kenyataan yang sesungguhnya terutama kegagalan-kegagalan yang sedang dialami. Rasionalisasi hanya menyiapkan
alasan-alasan yang bisa terima oleh akal, bisa diterima oleh pikiran orang lain
meskipun jauh dari kenyataan yang sebenarnya. Sehingga akal ini dipaksa untuk
menerima alasan yang mengakibatkan kegagalan atau hal-hal yang bisa membuat
frustasi dan kecemasan
Beberapa contoh rasionalisasi
Ada baiknya penulis tampilkan
beberapa contoh bentuk pertahanan diri berupa rasionalisasi, di antaranya :
Di bidang penididikan dapat
dicontohkan, seseorang yang gagal melaksanakan tugasnya akan berkata “tugas
itu terlalu berat bagi pribadi saya yang masih amat muda ini”. Atau dalih “tugas
semacam itu bagi saya tidak ada harganya, dan tidak masuk dalam bidang
perhatian saya. Dus, saya tidak ambil peduli, apakah tugas itu gagal atau
berhasil”. Berikut adalah contoh berkaitan
dengan asmara atau percintaan contoh, yaitu seorang pemuda berniat mendekati
seorang gadis cantik yang menarik hatinya. Tetapi karena takut cintanya ditolak,
maka si pemuda kemudian mengurungkan
niatnya. Dan ketika ditanya oleh temannya kenapa tidak jadi mendekati si gadis,
si pemuda memberikan alasan bahwa gadis tersebut sesungguhnya tidak menarik.
Contoh di bidang
pekerjaan, bila seseorang tidak mendapatkan posisi atau jabatan yang
diinginkannya dalam suatu pekerjaan, mereka memikirkan atau mencari
alasan-alasan yang rasional mengapa mereka tidak mendapatkan posisi atau
jabatan tersebut, dan kadang-kadang mereka berusaha membujuk dan meyakinkan
dirinya sendiri bahwa sebenarnya dia tidak menghendaki posisi tersebut. Kebanyakan pelaku penipuan keuangan melalui komputer mempunyai alasan atau
rasionalisasi yang membuat mereka merasa perilaku yang ilegal tersebut sebagai
sesuatu yang wajar. Umumnya
mereka beralasan hanya meminjam
aset yang dicuri, tidak melukai seseorang, hanya sistem komputer, dan tidak pernah seorangpun yang akan mengetahui.
Dampak Rasionalisasi
Namanya saja akal-akalan atau
ngakali, maka hakekatnya hanyalah usaha untuk memutar balikkan fakta yang
sebenarnya atas penyebab sesuatu yang tidak diingini (kegagalan) atau prilaku
yang tidak diterima oleh masyarakat pada umumnya. Rasionalisasi selalu
menghadirkan kebohongan-kebohongan, hidupnya memakai topeng dan bersandar pada
alasan-alasan yang dibuatnya seakan-akan benar dan menjadi fakta aktual. Rasionalisasi bisa dipahami
(diperbolehkan) bila itu dilakukan untuk menghibur diri sendiri atas kegagalan
yang dialami, sebab setiap orang butuh ketenangan pikiran dan ketenteraman hati
ketika menghadapi rasa frustasi atau kecemasan dari kegagalan yang diraihnya.
Rasionalisasi bisa menghindarkan diri dari “sudah jatuh tertimpa tangga”,
sudah gagal masih memperolok diri, mencaci dan menghina diri yang bisa
berakibat frustasi semakin berkepanjangan.
Rasionalisasi yang tidak
diperbolehkan di antaranya sebagai upaya-upaya licik yang telah disiapkan
sebelum melakukan usaha apapun, diri
lebih disibukkan mencari alasan-alasan yang bisa diterima akal bila nanti
hasilnya tidak sesuai yang diharapkan, lebih parah lagi bila upaya
rasionalisasi ini sampai menjebak diri sehingga tidak melakukan apapun, kecuali
hanya memutar-mutar otak mencari alasan bahwa apa yang semestinya dilakukan
dianggap tidak perlu untuk dilakukan, wal hasil ya akhirnya tergolong dalam
kelompok “tong kosong nyaring bunyinya” atau masuk dalam pasukan Nato “No
Action Talk Only”
Dalam sebuah organisasi bila
banyak dihuni oleh tipe rasionalisasi, maka organisasi tersebut penuh dengan
bualan-bualan, riuh renyah tanpa aktivitas yang bermakna, musyawarah yang
diselenggarakan seperti debat kusir, program kerja menjadi tema yang menarik
untuk dibahas sebagai upaya mencari alasan yang tepat mengapa dan kapan program
bisa dilaksanakan, karena sibuk menyiapkan alasan hingga akhirnya rencana kerja
tidak terlaksana. Kelompok rasionalisasi
tergabung dalam pasukan “pengelak tugas”, dengan seribu alasan menunjuk
orang lain untuk melaksanakan sebuah tugas
Tugas
Pendidikan
Salah satu tugas pendidikan adalah
mengasah kecerdasan logika dan menumbuhkan semangat rasionalisme, agar para
peserta didik bisa memahami gejala alam atau fenomena kehidupan beserta sebab
akibatnya. Logika yang dikembangkan
dalam dunia pendidikan cenderung bersifat formal berbentuk deduksi dan induksi,
mengambil kesimpulan secara umum yang bisa dibenarkan oleh akal pikiran yang
belum tentu mengandung kebenaran universal. Untuk melengkapi kecerdasan logika,
maka dunia pendidikan (tenaga pendidik) perlu
memberikan keseimbangan kecerdasan lainnya : di antaranya berupa kecerdasan
emosional, sehingga dalam menghadapi setiap masalah peserta didik bisa tenang dan bisa berpikir
jernih. Kecerdasan spiritual juga dibutuhkan agar peserta didik dalam
menggunakan rasionya tidak semata-mata untuk meraih kebenaran dan keuntungan
diri sendiri, namun ada aspek spiritual bahwa setiap apa yang dilakukan oleh
ummat manusia diketahui oleh Tuhan, dan Tuhan akan memberikan balasan yang
setara.
Orang yang cerdas secara akal, bila
tidak dibarengi atau diimbangi dengan kecerdasan lainnya akan cenderung
menggunakan kecerdasannya untuk “mengakali orang lain”. Karena
tujuan pendidikan adalah memberikan pengetahuan atas ketidak tahuannya,
maka orang yang berngetahuan wajib hukumnya memberi tahu kepada orang yang
tidak tahu, bukan malah membodohi dengan dalil-dalil yang rasional dalam rangka
mencari keuntungan diri sendiri. Untuk menyeimbangkan kecerdasan,
perlulah menghidupkan terus kurikulum yang terintegrasi, yaitu pembelajaran salah satu tema dibahas oleh beberapa mata pelajaran secara
bersamaan. Kurikulum terintegrasi membuat siswa belajar sesuai dengan gambaran
yang sesungguhnya, kurikulum terintegrasi mengajarkan keterkaitan akan segala
sesuatu sehingga terbiasa memandang segala sesuatu dalam gambaran yang utuh.
Kurikulum terintegrasi memberikan
peluang kepada siswa untuk menarik kesimpulan dari berbagai sumber infomasi
berbeda mengenai suatu tema, serta dapat memecahkan masalah ditinjau dari
berbagai aspek. Selain itu dengan kurikulum terintegrasi, proses belajar
menjadi relevan dan kontekstual membuat siswa dapat berpartisipasi aktif
sehingga seluruh dimensi manusia terlibat aktif (fisik, sosial, emosi dan akademik).
Dalam kontek rasionalisasi sebagai salah
satu bentuk pertahanan diri, dengan penggunaan kurikulum yang terintegrasi,
rasionalisasi akan bermanfaat untuk menjelaskan fakta yang sesungguhnya,
merinci sebab-akibat atas sebuah peristiwa secara sistematik dengan
menghadirkan dalil-dalil yang dibutuhkan dan relevan dengan konteks yang sedang
terjadi, sehingga bisa menerima dalam semua keadaan dalam kesadaran, bukan
dalam paksaan. Penyemangat rasionalisasi akan membantu mencari cara menggapai sebuah
cita-cita, memecahkan hambatan dan menghadirkan peluang, serta terus meneguhkan
usaha sampai keberhasilan diraih, dan bila usaha keras dengan berbagai cara
yang baik telah dilakukan, namun belum juga membuahkan hasil, maka
rasionalisasi berfungsi untuk merenungi, mengapa semua itu terjadi dan kapan
kesedihan disudahi. Kemudian menghadirkan jawaban apa yang mesti dilakukan bila
esok ingin berhasil, kapan dimulai, apa saja yang perlu disiapkan dan berjuta
alasan lain yang membangun optimisme dan menjalani kehidupan dengan penuh
gairah
Hamim T. Majdi
Magister Psikologi Pendidikan
Direktur LPDK Argopani Cendekia
Lumajang
0 komentar:
Post a Comment