Oleh : Hamim T. Majdi
(bagian ketiga)
PROYEKSI : BERTAHAN
DENGAN KAMBING HITAM
Istilah kambing hitam
sudah sangat ramah ditelinga kita, dan kita juga sudah faham bahwa kambing
hitam bukanlah jenis kambing yang berbulu hitam, apakah itu kambing etawa,
kambing kali gesing, kambing gibas atau jenis kambing lainnya. Kambing
hitam bermakna orang yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah,
tetapi dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan. Sedangkan mengkambing
hitamkan berarti menjadikan kambing hitam atau mempersalahkan, menuduh
bersalah. Contoh sikapnya selalu mengkambing hitamkan orang lain, sedangkan
sebenarnya dia sendiri yang berbuat. Penggunaan
istilah kambing hitam biasanya merujuk pada suatu peristiwa yang tidak
ditemukan atau belum diketahui penyebab peristiwa sesungguhnya atau dengan
sengaja menuduh atau menunjuk orang lain sebagai penyebab atau orang yang
melakukan kesalahan sehingga dirinya terbebas dari tuduhan atau sangkaan atas
apa saja yang telah dilakukan, padahal sebenarnya dia yang berbuat
Pemahaman
sederhana mengkambing hitamkan orang lain sering dimaknai secara politis, yaitu
strategi untuk menyelamatkan diri dari peristiwa-peristiwa yang tidak
menyenangkan atau tidak disenangi oleh banyak orang. Namun bila kita mau
mengkaji secara lebih mendalam utamanya kajian psikologis maka upaya
mengkambing hitamkan orang lain adalah bagian dari upaya pertahanan diri yang
disebut dengan proyeksi
Pengertian proyeksi
Pengertian
umum tentang proyeksi sebagaimana yang dimuat dalam Kamus Besar Bahasa
Indonesia mempunyai dua arti yaitu ; pertama,
gambar suatu benda yang dibuat rata (mendatar) atau berupa garis-garis pada
bidang datar. Kedua, perkiraan
tentang keadaan masa yang akan datang dengan menggunakan data yang ada
(sekarang). Dalam psikologi istilah proyeksi pertama kali dikemukakan oleh Freud di dalam
karyanya The Anxiety Neurosis yang diterbitkan pada tahun 1894, Freud menulis
bahwa : Psyche (jiwa) akan mengembangkan suatu kecemasan neurotik
apabila psyche merasa tidak berdaya untuk mengatasi
rangsangan-rangsangan (seksual) yang berasal dari dalam (endogenous), sehingga
rangsangan-rangsangan tersebut akan diproyeksikan ke dunia luar.
Dua tahun kemudian Freud memberikan elaborasi
lebih jauh terhadap konsep proyeksi, sebagaimana tertuang dalam bukunya On
the Defense Neuropsychoses. Dikemukakannya secara lebih eksplisit, bahwa;
Proyeksi adalah suatu proses pemetaan (pelampiasan ke luar) dorongan-dorongan,
perasaan-perasaan dan sentimen-sentimen seseorang kepada orang lain atau ke
dunia luar, sebagai proses yang bersifat defensif, dimana orang yang
bersangkutan tidak menyadari munculnya gejala yang di luar kehendaknya (undesireable
phenomena). Kartini Kartono menyebut bahwa proyeksi adalah
usaha mensifatkan, melemparkan atau memproyeksikan sifat, fikiran dan harapan
yang negatif, juga kelemahan dan sikap sendiri yang keliru kepada orang lain. Dolah
dan Holladay berpendapat bahwa proyeksi
adalah contoh dari cara untuk memungkiri tanggung jawab terhadap implus-implus
dan pikiran-pikiran dengan melimpahkan kepada orang lain dan tidak pada diri
sendiri. Secara sederhana proyeksi dapat didefinisikan sebagai
usaha untuk mempertahankan diri dengan cara mengalihkan atau memindahkan
penyebab kegagalan atau tidak tercapainya suatu keinginan kepada luar dirinya
bisa berupa orang lain, benda, situasi bahkan hal-hal yang bersifat
supranatural.
Bentuk
proyeksi
Penggunaan
istilah proyeksi dalam perkembangannya ternyata bukan hanya Freud saja,
beberapa ahli psikologi yang menggunakan proyeksi sebagai pendekatan psikologis
adalah Frank, Bealy, Bromier, dan Bowers serta Ballak, sehingga konsep proyeksi
menjadi semakin lengkap dan akhirnya dapat diambil kesimpulan bahwa proyeksi
mempunyai tiga bentuk atau proyeksi dilakukan dengan tiga cara yaitu ;
Pertama,
menyalahkan sebab yang terjadi kebetulan, tidak relevan atu berupa khayalan,
misalnya seorang anak tiba-tiba menangis dengan keras kemudian memeluk ibunya
dengan kuat, ketika ibunya bertanya “sayang, kenapa nangisnya kenceng sekali?” dengan
terbata-bata karena takut dimarahi ibunya, maka sang anak menjawab “adik jatuh tersandung batu di depan rumah,
hiiii serem di batu ada hantu casper adik takuuuuut, atau sebaliknya sang
ibu menghibur anaknya yang sedang menangis karena tertimpa kursi, lalu si ibu
berkata “sudah diam sayang, ni kursinya
ibu pukul, dasar kursi nakal”
Kedua,
melihat kekurangan atau kelemahan kepribadian yang dimiliki orang lain atau
yang dianggap lawan. Contoh anak-anak yang suka berantem atau suka marah-marah,
maka ketika mereka ditanya “siapa yang
memukul duluan”, spontan mereka
menjawab “kalau kami tidak memukul
duluan, maka kami yang akan dipukul duluan pak”
Ketiga,
menyalahkan orang lain atau hal-hal lain karena perilakunya tidak patut sehinga
mengalami kegagalan, beberapa contoh di antaranya ; eksekutor tendangan finalti
yang gagal memasukkan bola ke gawang, lantas berujar “wah gawangnya kelihatan kecil, sehingga sangat sulit aku memasukkan
bola” atau “sudah aku sampaikan pada
pelatih, aku tidak mau mengeksekusi pinalti, ya ini jadinya tidak masuk”,
contoh lain seorang guru jatuh cinta kepada muridnya, ketika sang guru ditanya
mengapa pak guru cinta sama muridnya ? dengan enteng pak guru menjawab “ya muridnya itu lho setiap hari merayu ku,
bagaimana aku tidak tertarik padanya”
Bahaya Proyeksi
Menyalahkan
orang lain atau sesuatu yang bisa disalahkan dalam upaya menghindarkan diri
dari tuduhan kesalahan atau menghindari dari hukuman karena kesalahannya, pada
prinsipnya bisa membuat diri puas, atau bisa menghilangkan kecemasan karena
dirinya tidak jadi menanggung malu atau mendapat hukuman, namun pada akhirnya
orang lain yang justru menjadi korbannya. Freud menggambarkan bahwa proyeksi sebagai
salah satu bentuk mekanisme pertahanan diri yang menggambaran proses ketidak sadaran untuk
melindungi diri dari kecemasan melalui pemutarbalikan kenyataan. Namun strategi-strategi
ini tidak mengubah kondisi objektif bahaya yang dihadapi, dan hanya mengubah cara seseorang
mempersepsi atau memikirkan masalah itu dengan meyalahkan orang lain atau sesuatu yang bisa disalahkan.
Bentuk pertahanan diri melalui proyeksi ini melibatkan
unsur “penipuan diri”, seperti kata
pepatah “lempar batu sembunyi tangan”,
bisanya hanya membuat keonaran tetapi ogah mengakuinya apalagi bertanggung
jawab, merasa puas atau enjoy bila bisa menuduhkan kesalahan dirinya kepada
orang lain. Penipuan diri dengan cara proyeksi (mencari
kambing hitam) secara psikologis sejatinya tidak bisa menghilangkan kecemasan
secara tuntas, yang didapatkan hanyalah
kepuasan sementara dan bahkan menambah kecemasan, sebab dirinya selalu
berpura-pura tidak melakukan apa yang dituduhkan kepada orang lain serta
memendam kecemasan jangan-jangan suatu saat kesalahannya akan terbongkar atau
orang lain tahu sebenarnya dirinya yang melakukan, sehingga dalam hidupnya
selalu dihinggapi kegalauan yang tiada henti.
Tugas
Pendidikan
Di
antara tugas pendidikan adalah membentuk karakter peserta didik yang
bertanggung jawab, siap mempertanggung jawabkan apa yang telah diperbuat,
berani berbuat berarti harus berani bertanggung jawab, proses pendidikan selalu
menghindari lahirnya pribadi-pribadi pengecut, menjauh dari masalah dan lari
dari kenyataan. Hidup
ini selalu berhadapan dan berjalan dengan kenyataan, tiada satupun yang kita
lalui berseberangan dengan kenyataan, karenanya pendidikan perlu menekankan
pemahaman dan praktek tentang teori sebab akibat, misalnya pengajaran pepatah “tiada asap tanpa api” artinya
setiap kejadian pasti ada aktornya atau
pelakunya. Penegakan
disiplin merupakan salah satu pelatihan bertanggung jawab, para guru dalam
menegakkan disiplin perlu menerapkan asas keseimbangan antara hadiah dan
hukuman, dan lebih ideal lagi bila mendahuluan prinsip pemberian hadiah.
Siapapun akan merasa senang bila ada iming-iming hadiah, begitu juga semua
orang takut akan hukuman atau sanksi
Lebih
tepat lagi bila para guru memberikan contoh sikap kesatria kepada muridnya,
bila memang guru merasa berbuat salah terhadap murid, maka jangan segan atau
malu meminta ma’af kepada muridnya, sehingga para murid akan mengikuti jejak
gurunya begitu berbuat salah langsung meminta ma’af. Pemberian
sanksi dengan proses yang salah juga berakibat tidak baik bagi siswa, pemberian
sanksi semau gue tanpa mau mendengarkan alasan-alasan sang murid
membuat siswa enggan mengakui kesalahannya dan akhirnya setiap siswa yang salah
selalu mencari-cari alasan bahkan menuduh teman-temannya yang melakukan
kesalahan tersebut. Akhirnya,
perjalan hidup ini akan semakin indah bila kita mampu memahami kenyataan hidup
apapun bentuknya (senang-susah, sukses-gagal, salah-benar, menang-kalah) dan
perlu kita pahami bahwa setiap kesedihan atau kesusahan akan dibarengi dengan
kebahagian dan kemenangan bila dilakukan dengan sunguh-sungguh (bersambung)
Hamim
T. Majdi
Magister
Psikologi Pendidikan
Direktur
LPDK Argopani Cendekia Lumajang
0 komentar:
Post a Comment