Oleh : Hamim Thohari Majdi
Di kalangan pendidik
atau secara luas dalam dunia pendidikan, istilah kecerdasan majemuk (multiple
Intellegence) atau MI bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan beberapa sekolah di
kabupaten Lumajang memasukkan kecerdasan majemuk dalam visi misinya, misalnya
SMPN1 Lumajang salah satu misinya berbunyi : “Mewujudkan proses pendidikan yang berkualitas, efektif dan relevan
sehingga siswa memiliki kecakapan hidup yang dikembangkan berdasarkan multi intelegensi mereka”
Ditemukannya kecerdasan
majemuk oleh Howard
Gardner
pada tahun 1983, memberikan harapan baru bagi peningkatan kualitas sumber daya
manusia.
Dengan ukuran kecerdasan intelektual proses kegiatan belajar mengajar melahirkan satu bintang kelas, dengan menggunakan ukuran kecerdasan majemuk kegiatan belajar mengajar melahirkan banyak sang juara
Dengan ukuran kecerdasan intelektual proses kegiatan belajar mengajar melahirkan satu bintang kelas, dengan menggunakan ukuran kecerdasan majemuk kegiatan belajar mengajar melahirkan banyak sang juara
IQ dan MI
Kecerdasan
atau intelegensi sebagaimana yang ditulis Dayakisni dan Yuniardi, berasal dari
kata Latin intellegentia yang pertama
kali digunakan oleh Cicero ahli pidato dari Romawi mempunyai makna sejumlah kemampuan, keahlian, talenta dan
pengetahuan yang keseluruhannya merujuk kepada kemampuan kognitif dan proses
mental
Ruang
lingkup kecerdasan meliputi ; memori (seberapa baik dan seberapa banyak serta
seberapa lama mengingat suatu informasi), kekayaan kosa kata (seberapa banyak
kosa kata yang diketahui dan mampu digunakan dengan tepat), kemampuan komprehensip
(seberapa baik memahami serangkaian ide dan pernyataan), kemampuan matetamis
(penambahan, pembagian dan sebagainya), serta berpikir logis (seberapa baik
menangkap keurutan peristiwa dan melogikanya).
Alfred Binet yang
dikenal sebagai pelopor dalam menyusun tes IQ (Intelligence Quotient) sebagaimana yang ditulis Effendi dan Praja,
intelegensi mempunyai tiga aspek kemampuan yaitu ;
- Direction, kemampuan untuk memusatkan pada suatu masalah yang harus dipecahkan
- Adaptation, kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap masalah yang dihadapinya atau fleksibel dalam menghadapi masalah
- Critisism, kemampuan untuk mengadakan kritik, baik terhadap masalah yang dihadapi maupun terhadap dirinya sendiri
Untuk mengetahui atau
menentukan cerdas tidaknya seseorang, Alfred Binet menyusun tes yang disebut
tes intelegensi (tes IQ) dengan empat bidang kemampuan intelektual yaitu ;
penalaran verbal, penalaran abstrak/visual, penalaran kuantitatif dan memori jangka
pendek
Tingkat kecerdasan
seseorang dapat dilihat dari hasil tes sebagai berikut :
1. Mereka
yang IQ-nya di bawah 70 disebut cacat mental atau lemah pikiran (feeble minded) dengan sebutan ideot, embisil dan moron (debil)
2. Inferior,
pribadi yang terbelakang dengan IQ 70-90
3. Bodoh,
agak lambat dalam mencerna pelajaran, agak sulit menyelesaikan pendidikan SLTA
dengan IQ 80-89
4. Normal/rata-rata
dengan IQ 90-109
5. Pandai,
mampu menyelesaikan pendidikan tingkat perguruan tinggi
6. Superior,
lebih cakap membaca, berhitung, perbendaharaan bahasanya luas, cepat memahami
pengertian yang abstrak dengan IQ 120-129
7. Sangat
superior, dengan IQ 130-139
8. Gifted,
menonjol dan terkenal, hasil studinya memuaskan, jabatan yang dipegangnya
banyak, dan jarang sakit atau meninggal dunia pada usia muda dengan IQ 140-179
9. Genius,
bakatnya sudah tampak sejak kecil,
mempunyai kecerdasan yang sangat luar biasa. Walaupun tidak sekolah mereka
mampu menemukan dan memecahkan suatu masalah dengan IQ 180 ke atas
Bila diklasifikasi atau
diranking, maka kecerdasan intelektual terdiri dari ; tidak cerdas (bodoh),
cerdas (biasa-biasa saja) dan sangat cerdas (genius). Dalam dunia pendidikan
tes IQ biasanya digunakan sebagai salah satu alat untuk menyaring calon peserta
didik dan yang paling diburu adalah yang
IQ-nya 140 ke atas,
Di bidang akademik,
mereka yang sangat cerdas selalu menjadi bintang kelas dan selalu mendapat
pujian dan penghargaan. Sedang mereka yang biasa-biasa saja apalagi yang tidak
cerdas dianggap sebagai problem maker
alias biang kerok, penghambat kegiatan belajar mengajar.
Bagi yang cerdas dan
yang sangat cerdas selalu mendapat tempat dalam dunia pendidikan, bagi yang
tidak cerdas selalu terasing dan dipandang sebelah mata, menjadi bahan
gunjingan dan ejekan. Sebutan ekstrim pintar dan bodoh inilah yang menjadi
alasan Howard Gardner melakukan penelitian
Menurut Howard Gardner
sebagaimana yang ditulis Thomas Amstrong, bahwa indikator kecerdasan tidaklah
satu (hanya cerdas IQ saja) melainkan banyak. Gardner melakukan penelitian
kepada anak-anak maupun orang dewasa untuk menemukan lebih banyak tentang
bagaimana manusia itu belajar. Dan ditemukan ternayata tampaknya manusia
belajar dan menunjukkan kecerdasannya dalam berbagai cara
Terkait dengan struktur
otak, Gardner juga memperhatikan, bahwa bagian otak yang berbeda-beda
menentukan berbagai indikator kecerdasan yang berbeda-beda pula, sehingga otak
mempunyai cakupan kemampuan yang luas kemudian oleh Gradner disebut sebagai kecerdasan
majemuk (multiple intelligences/MI)
Howard Gardner menemukan, bahwa
dalam diri manusia sedikitnya terdapat delapan jenis kecerdasan, yaitu ;
- Kecerdasan verbal/bahasa (verbal linguistic intelligence):
- Kecerdasan logika/matematik (logical/mathematical intelligence)
- Kecerdasan visual/ruang (visual/spatial intelligence)
- Kecerdasan tubuh/gerak (body/ kinesthetic intelligence)
- Kecerdasan musikal/ritmik (musical/rhythmic intelligence)
- Kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence)
- Kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence)
- Kecerdasan naturalis (naturalistic intelligence)
Fungsi
Kecerdasan Majemuk
Menurut Munif Chatib,
kecerdasan seseorang adalah proses kerja otak seseorang , sampai seseorang itu
menemukan kondisi akhir terbaiknya. Terkadang, kondisi akhir terbaik seseorang
itu tidak terbatas pada satu kondisi saja. Penulis novel terlaris dunia J.K. Rowling, menemukan kondisi akhir
terbaik sebagai penulis pada usia 43 tahun dan terus berkembang. Sementara itu,
Stevie Wonder menemukan kondisi akhir
terbaiknya sebagai pemusik pada usia 10 tahun dan terus berkembang
Lebih lanjut, Munif
Chatib menyebut, dengan mengetahui kecerdasan majemuk seawal mungkin, seseorang
dapat menemukan kondisi akhir terbaiknya lebih cepat. Selain itu, pengetahuan
tentang kecerdasan majemuk dapat mendorong seseorang untuk bergerak dan
menemukan kondisi terbaik berikutnya
Howard Gardner melalui teori kecerdasan majemuk ingin menegaskan
bahwa :
1. Semua
orang memiliki delapan jenis kecerdasan, hanya kapasitasnya yang berbeda.
2. Semua
orang memiliki potensi untuk mengembangkan delapan kecerdasan tersebut, asalkan
mendapat dorongan, pengajaran, dan pengayaan yang sesuai.
3. Antar
kecerdasan selalu bekerjasama dan berinteraksi
4. Ada
banyak cara yang dapat dilakukan agar menjadi cerdas dalam setiap kategori
Melalui proses pencarian hingga
penemuan kemampuan atau yang disebut dengan discovering
ability, akan ditemukan kecenderungan-kecenderungan pada salah satu atau
beberapa jenis kecerdasan. Kecerdasan majemuk menyakini bahwa semua orang
cerdas dan tidak ada orang yang bodoh
Tak Kenal maka Tak Sayang
Di
awal pertemuan banyak orang yang menggunakan pepatah “tak kenal, maka tak sayang” sebagai alasan untuk memperkenalkan
diri kepada orang yang baru dijumpai, tidak terkecuali para guru baru yang ingin
“disayang muridnya” dengan terlebih
dahulu mengenalkan diri
Sayang,
perkenalan guru dengan murid sering bertepuk sebelah tangan, sang guru ingin lebih dikenal oleh para muridnya dari
pada sang guru mengenal (karakter atau potensi kecerdasan) muridnya. Pun toh
bila guru mengenali muridnya tidak lebih dari identitas diri saja, di antaranya
; nama lengkap, nama panggilan, alamat
dan keluarganya
Bila
merujuk kepada Multiple Intellegences
System (MIS) dan Multiple Intellegences
Research (MIR), maka penggunaan pepatah tersebut sangatlah tepat digunakan
bagi guru untuk mengenal lebih jauh karakter dan potensi kecerdasan yang
dimiliki siswanya , sebagaimana yang dinyatakan Gardner bahwa ada kaitan antara
kecenderungan kecerdasan yang dimiliki siswa dengan gaya belajarnya
Dalam
pandangan Munif Chatib, banyaknya kegagalan siswa mencerna informasi dari
gurunya disebabkan ketidaksesuaian gaya mengajar guru dengan gaya belajar siswa.
Sebaliknya, apabila gaya mengajar guru sesuai dengan gaya belajar siswa semua
pelajaran akan terasa sangat mudah dan menyenangkan. Guru juga senang karena
punya siswa yang semuanya cerdas dan perpotensi untuk sukses pada jenis
kecerdasan yang dimiliki
Rasa sayang yang dalam guru kepada
siswa tentu akan melahirkan semangat agar bisa memberikan atau melakukan yang
terbaik untuk siswanya, sehingga sang guru senantiasa berusaha mencari cara
agar informasi yang diberikan bisa diterima oleh siswanya, dan itu bisa
dilakukan dengan cara menggunakan MIR
MIR
adalah riset yang luar biasa untuk membantu guru menemukan gaya belajar siswa
dan ini dilakukan sebelum pembelajaran dimulai (akan lebih baik bila dilakukan
ketika penerimaan siswa baru). Menurut Munif Chatib, MIR yang dilakukan secara
berkala terhadap siswa dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar akan
menjadi akselerator baginya untuk menentukan kondisi terbaik
MIR bukanlah alat tes seleksi masuk
(menentukan diterima atau tidak), melainkan sebuah riset yang ditujukan kepada
siswa dan orang tuanya untuk mengetahui kecenderungan kecerdasan siswa yang
paling menonjol dan berpengaruh. Melalui MIR siswa dan guru dapat mengetahui
banyak hal, seperti grafik kecenderungan kecerdasan siswa, gaya belajar siswa, dan
kegiatan kreatif yang disarankan, yang berbeda antara satu siswa dan siswa lain
Efek Pembelajaran MI
Seperti
halnya obat yang berfungsi untuk mengurangi atau menyembuhkan penyakit pasti
setiap obat mempunyai dampak yang tidak menyenangkan yang disebut efek samping.
Begitu juga pembelajaran MI. Seperti yang disampaikan Venti Dewi Kristianti,
guru seni budaya dan Kreasi SD YIMA Bondowoso, MI memang sangat bagus karena
sistem pembelajarannya sangat unik, menyenangkan dan anak-anak terlibat
langsung. Jadi murid tidak hanya duduk, diam, dan semata mendengarkan guru yang
mengoceh di depan kelas. Semua siswa dan guru terjun langsung dalam sistem
pembelajaran yang lebih sering di luar kelas dengan permainan, kuis, diskusi,
menyanyi, menari atau cara yang lain yang menarik sehingga anak-anak merasa
enjoy
Sedangkan
efek samping pembelajaran MI adalah siswa yang terbiasa dengan sistem yang
lebih mengutamakan psikomotorik, sehingga mereka akan cepat bosan dan tidak
begitu suka apabila menggunakan sistem pembelajaran yang menggunakan ranah
kognitif. Ini terlihat saat siswa mengerjakan soal atau pada waktu ujian
semester, banyak yang jenuh dan menjawab ala kadarnya
Dengan
adanya efek samping tidak berarti harus dihindari atau mempertegas alasan guru untuk
tidak menggunakan pembelajaran MI, maka bagi guru yang kreatif, yang menyukai
tantangan dan ingin mencoba atau menemukan hal-hal yang baru, pembelajarn MI
menjadi daya tarik tersendiri dan dianggap sebagai peluang untuk memberikan
yang terbaik buat siswa dan profesinya, sehingga tema ulang tahun PGRI tahun
2012 yaitu menyiapkan generasi emas
benar-benar terwujud (bersambung)
Hamim Thohari Majdi
Magister Psikologi Pendidikan
Direktur LPDK Argopani Lumajang
0 komentar:
Post a Comment