Monday, April 1, 2013

Mekanisme Pertahanan Diri 4


Oleh : Hamim T. Majdi
(bagian keempat)

DISPLACEMENT : BERANINYA SAMA YANG LEMAH 

Sering kita jumpai seorang pimpinan atau atasan baru masuk kantor, bahkan tidak sempat salam sapa, lalu memanggil seorang stafnya sejurus kemudian dengan tanpa alasan yang jelas sang staf dimarahi habis-habisan. Atau tiba-tiba seorang atasan mengumpulkan seluruh bawahannya kemudian sang atasan ngomong tanpa arah dengan nada tinggi, marah-marah dan kelihatan kesal sekali. Contoh di atas walapun sering kita jumpai, hampir rata-rata kita menyimpulkan peristiwa tersebut bahwa bos kita sedang ada masalah, sambil berhipotesa mungkin sang bos ada masalah dengan istrerinya atau sang bos sedang bermasalah dengan atasannya tanpa bisa menyebut istilah yang tepat atas peristiwa tersebut, kalau kita lihat dari pandangan psikologis barulah kita dapati bahwa yang dilakukan bos adalah upaya mempertahankan diri dalam bentuk displacement.


Pengertian Displacement
            Istilah displacement dalam Kamus Bahasa Inggris mempunyai dua pengertian yaitu ; beratnya dan pemindahan. Yang dimaksud dengan beratnya adalah  ukuran berat kapal  yaitu  jumlah berat air yang dipindahkan oleh kapal, atau berat underwater volume dari kapal yang sama beratnya dengan kapal. Displacement dinyatakan dalam long ton (1 long ton = 35 cft. Berat air laut). Sedangkan makna pemindahan dari istilah displacement terdapat dua sudut pandang, pertama sudut pandang psikologi  sebagaimana didefiniskan oleh Freud   bahwa Displacement adalah mekanisme pertahanan-diri berupa pengalihan emosi – kemarahan-, kepada  seseorang yang lebih lemah, disebabkan adanya tekanan atau ancaman dari orang lain yang lebih kuat dan dia tidak berdaya untuk melawannya. (Redirecting an emotion - e.g. anger - toward someone who is less dangerous than the real object of that emotion).

            Makna yang kedua berasal dari sudut pandang sosiologi, displacement diartikan sebagai penyelesaian konflik dengan cara memindahkan atau menggantikan dengan konflik lain. Pengertian sosiologis perlu diangkat mengingat banyak kasus displacement justru terjadi dalam ranah sosial. Untuk memberikan pengertian  displacement dalam mekanisme pertahanan diri, dapatlah diambil pengertian sederhana bahwa displacement  adalah upaya menghilangkan atau meredakan kecemasan yang disebabkan oleh tekanan-tekanan yang diterima dari pihak-pihak yang lebih kuat (lebih tinggi jabatannya-lebih tinggi kekuatannya) dengan cara memindahkan kepada pihak-pihak  yang lebih lemah dan memungkinkan tidak melakukan perlawanan balik, atas pemindahan tersebut dirinya merasa terpuaskan.

Mata rantai  displacement
            Proses terjadinya mekanisme pertahanan diri yang berbentuk displacement  tidak terjadi begitu saja, ada sebuah mata rantai yang mengurainya, yaitu pihak yang menekan (pihak yang kuat), pihak yang ditekan pertama (pihak yang kurang kuat) dan pihak yang ditekan kedua (pihak yang lemah). Seperti bendungan, ketika air yang ditampung melebihi kapasitas, maka secara otomatis air akan mengalir ke berbagai arah.Pihak penekan tidak selamanya dari atasan, pihak penekan bisa dari orang yang dihormati meskipun bukan atasannya, bisa saja orang yang ditakuti walaupun tidak ada hubungan apapun. Intinya pihak penekan sebagai pihak yang kuat adalah pihak yang tidak mungkin dilawan atau dikalahkan, sebab bila pihak yang menekan tersebut dilawan atau dikalahkan akan menimbulkan suasana yang lebih tidak menyenangkan. Atas tekanan pihak yang lebih kuat tersebut menimbulkan kecemasan yang tidak bisa ditahan atau tidak bisa dikontrol, maka secara otomatis kecemasan tersebut dipindahkan atau dialihkan  kepada pihak yang lebih lemah misalnya seorang pimpinan kepada bawahannya, orang tua kepada anaknya, guru kepada muridnya, atau dipindahkan dengan cara merusak benda-benda yang ada di sekitarnya.  
           
Mengatasi Masalah dengan Masalah
            Mengatasi kecemasan melalui displacement bukannya tidak beresiko, meskipun bisa memindahkan kecemasan tersebut kepada pihak lain dan sesaat merasakan kepuasan atau ketenangan karena kecemasannya berkurang, akan menimbulkan bahaya laten bila dilakukan secara terus menerus, siapapun yang dijadikan tempat pelampiasan kecemasan pada akhirnya merasa tertekan juga dan suatu saat akan melakukan serangan balik. Pokok masalah displacement sebenarnya bukan berpangkal pada orang lain yang disebut pihak yang kuat, akan tetapi pada diri kita sendiri yang tidak mampu mengendalikan emosi ketika sedang mempunyai beban yang berat atau ketika dalam situasi tertekan, memang banyak kita jumpai orang yang  mudah menumpahkan kekesalannya kepada orang lain, namun yang didapati bukanlah terselesaikan masalahnya, tetapi justru menimbulkan gunjingan dan mendapat julukan orang yang mudah mengumbar emosi.

             Bahkan dalam sebuah unit kerja atau suatu organisasi, pemimpin yang senantiasa melakukan pertahanan diri dalam bentuk displacement atau menumpahkan kekesalan emosinya kepada bawahannya atau kepada anggota akan membentuk barisan sakit hati, menghilangkan simpati dan dijauhi. Terlebih bila penumpahan kekesalan sang bos tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau tidak ada kaitannya dengan bawahan. Pemindahan kekesalan kepada pihak yang lebih rendah atau lebih lemah juga bisa membuat suasana kurang kondusif dan tidak nyaman, sehingga sebuah organisasi atau perusahaan yang mempunyai pemimpin tipe ini atau terdapat pribadi-pribadi yang suka menumpahkan kekesalan kepada orang lain akan sulit berkembang sebab yang menjadi isu pentingnya adalah isu atau permasalahan pribadi bukan permasalahan perusahaan atau institusi.

Bila kita tengok motto pegadaian “mengatasi masalah tanpa masalah”, maka pertahanan diri berupa displacement ini justru “mengatasi masalah dengan masalah” atau seperti syair lagu Rhoma Irama  “gali lobang tutup lubang… pinjam uang bayar hutang, gali lubang tutup lubang… sana lunas sini hutang, gali lubang tutup lubang… tetap saja ada hutang, gali lubang tutup lubang… hutangnya tak pernah hilang”. Mengatasi masalah dengan menimbulkan masalah baru.
 
Cenderung anarkhis
            Dalam konteks sosial, displacement merupakan teori mengatasi konflik dengan menciptakan konflik baru, hal ini dapat diurai dalam beberapa kasus demonstrasi yang berakhir anarkhis berupa pengrusakan fasilitas umum atau menghadang bahkan menakut-nakuti atau mengancam orang yang lalu lalang, hal tersebut disebabkan oleh perasaan kesal, galau, cemas karena tuntutannya tidak dipenuhi. Sebagaimana peristiwa tanggal 29 Mei 2012 seperti yang dimuat oleh beritajatim.com. Hanya dijanjikan bisa ketemu bapati tangggal 12 Juni 2012, masyarakat Wotgalih Kecamatan Yosowilanggun membubarkan diri dengan tertib, jam 16.15 WIB. Sebelum bubar, sejumlah sarana penerangan, papan tulisan kantor bupati, dan replikan kuda kencak dirusak pedemo”

Lebih lanjut beritajatim.com menulis “Pengamatan beritajatim.com, papan tulisan kantor bupati berupa huruf terbuat dari seng diporakn-porandakan pendemo yang kesal karena tidak ditemui Bupati Sjahrazad Masdar. Paving trotoar juga rusak setelah dicukil beberapa pendemo”. Jelaslah bahwa apa yang dilakukan masyarakat desa Wotgalih sebagai luapan emosional karena tidak ditemui oleh bupatinya, masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengrusak fasum. Seperti halnya pengrusakan yang terjadi di desa kandangan kecamatan senduro, “Perusakan sejumlah rumah terjadi di Desa Kandangan, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang. Massa tiba-tiba melempari sejumlah rumah milik warga. Belakangan ini situasi di Desa Kandangan tidak kondusif menyusul eksekusi kepala desa setempat lantaran kasus tukar guling tanah” (www.tempo.co, 14 Mei 2012)

            Pengrusakan rumah yang terjadi di desa Kandangan merupakan pertahanan diri warga desa Kandangan berbentuk displacement, karena masyarakat kecewa dengan putusan Pengadilan Negeri Lumajang yang memvonis kepala desanya dengan hukuman 4 bulan penjara, sementara masyarakat berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh kepala desanya adalah bagian dari  pembelaannya kepada masyarakat, jadi pengrusakan rumah warga merupakan bentuk pengalihan ketidak berdayaan melawan penguasa hukum.

Tugas Pendidikan
            Inti dari displacement adalah jebolnya pertahanan diri seseorang, baik disebabkan oleh tekanan yang kuat dari orang lain atau memang rapuhnya pertahanan itu sendiri. Karenanya tugas pendidikan dalam upaya menghindari atau paling tidak mengurangi terjadinya displacement adalah membangun mentalitas yang tangguh bagi para peserta didik. Seseorang yang bermental tangguh akan senantiasa siap berlaga di segala medan, bahkan pribadi-pribadi yang tangguh senantiasa mencari tantangan untuk menggairahkan kehidupannya. Sehingga tantangan bagi orang yang bermental tangguh merupakan peluang, peluang untuk membuktikan dirinya terbaik.
Karenanya pendidikan berkewajiban untuk memberikan bekal kepada para peserta didiknya agar mempunyai kecerdasan emosional. Menurut Weisinger  dalam bukunya Emotional at Work : Pemandu Pikiran dan Perilaku Anda Untuk Meraih Kesuksesan, bahwa kecerdasan emosi dapat digunakan untuk kepentingan intrapersonal (membantu diri sendiri) dan juga interpersonal (membantu orang lain). Secara intrapersonal  para peserta didik yang cerdas emosionalnya mampu mengelola emosinya dengan baik, mampu mengekspresikan emosi secara tepat dan mampu menumbuhkan semangat dalam diri sendiri. Sedangkan secara interpersonal mampu melakukan hubungan dengan orang lain secara baik, mampu memahami apa yang sedang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami apa yang dibutuhkan orang lain dan bisa berkomunikasi secara baik dengan orang lain.

            Para guru bisa melihat gejala atau tanda-tanda siswa yang sedang melakukan displacement ketika di sekolah, di antara tanda-tandanya adalah ; suka menjahili kepada sesama siswa dan sangat senang bila yang dijahili meresponnya dengan kemarahan. Bisa juga suka menggoda guru yang berkepribadian lembek baik melalui pertanyaan ataupun ulahnya yang bikin gregetan. Dan kadang suka melakukan corat-coret atau merusak fasilitas sekolah. Bila sudah didapati salah satu tanda tersebut dia atas, maka guru berkewajiban untuk melakukan tindakan pencegahan dan menyadaran, tentu bukan menghukum, tetapi dengan cara menggali isi hati siswa tersebut dan mencari penyebabnya. Sebab bila dibiarkan berakibat buruk bagi siswa itu sendiri yaitu emosinya semakin sulit dikontrol dan mengganggu prestasinya, dan bagi sekolah akan berpengaruh dengan emosi siswa lain dan suasana sekolah yang kurang nyaman karena banyaknya fasilitas yang dirusak.

Pada akhirnya hasil dari pendidikan diharapkan bisa memberikan pengertingan dan perubahan perilaku pentingnya mengelola emosi agar tidak mudah terjebak pada kesenangan sesaat dan melakukan intimidasi kepada orang lain. Berikutnya muncul kesadaran bahwa dalam hidup bermasyarakat ada resiko-resiko yang harus diterima seperti hinaan, makian dan lainnya. Akan tetapi hinaan dan makian tidak akan menjadikan diri terhina dan direndahkan, dengan emosi yang positif semuanya itu dijadikan sarana evaluasi dan pematangan sikap. Sehingga bisa menjalani hidup dengan riang gembira.


Hamim T.  Majdi
Magister Psikologi Pendidikan
Direktur LPDK Argopani Cendekia Lumajang



0 komentar:

Post a Comment