Oleh : Hamim T. Majdi
(bagian keempat)
DISPLACEMENT :
BERANINYA SAMA YANG LEMAH
Sering kita jumpai seorang pimpinan
atau atasan baru masuk kantor, bahkan tidak sempat salam sapa, lalu memanggil
seorang stafnya sejurus kemudian dengan tanpa alasan yang jelas sang staf
dimarahi habis-habisan. Atau tiba-tiba seorang atasan mengumpulkan seluruh
bawahannya kemudian sang atasan ngomong tanpa arah dengan nada tinggi,
marah-marah dan kelihatan kesal sekali. Contoh di atas walapun sering kita
jumpai, hampir rata-rata kita menyimpulkan peristiwa tersebut bahwa bos kita
sedang ada masalah, sambil berhipotesa mungkin sang bos ada masalah dengan
istrerinya atau sang bos sedang bermasalah dengan atasannya tanpa bisa menyebut
istilah yang tepat atas peristiwa tersebut, kalau kita lihat dari pandangan
psikologis barulah kita dapati bahwa yang dilakukan bos adalah upaya
mempertahankan diri dalam bentuk displacement.
Pengertian Displacement
Istilah
displacement dalam Kamus Bahasa Inggris
mempunyai dua pengertian yaitu ; beratnya dan pemindahan. Yang dimaksud dengan
beratnya adalah ukuran berat kapal yaitu jumlah berat air yang dipindahkan oleh kapal,
atau berat underwater volume dari
kapal yang sama beratnya dengan kapal. Displacement dinyatakan dalam long ton
(1 long ton = 35 cft. Berat air laut). Sedangkan
makna pemindahan dari istilah displacement
terdapat dua sudut pandang, pertama sudut pandang psikologi sebagaimana didefiniskan oleh Freud bahwa Displacement adalah mekanisme
pertahanan-diri berupa pengalihan emosi – kemarahan-, kepada seseorang yang lebih lemah, disebabkan adanya
tekanan atau ancaman dari orang lain yang lebih kuat dan dia tidak berdaya
untuk melawannya. (Redirecting
an emotion - e.g. anger - toward someone who is less dangerous than the real
object of that emotion).
Makna yang kedua berasal dari sudut
pandang sosiologi, displacement
diartikan sebagai penyelesaian konflik dengan cara memindahkan atau
menggantikan dengan konflik lain. Pengertian sosiologis perlu diangkat
mengingat banyak kasus displacement
justru terjadi dalam ranah sosial. Untuk memberikan pengertian displacement
dalam mekanisme pertahanan diri, dapatlah diambil pengertian sederhana bahwa displacement adalah upaya menghilangkan atau meredakan
kecemasan yang disebabkan oleh tekanan-tekanan yang diterima dari pihak-pihak
yang lebih kuat (lebih tinggi jabatannya-lebih tinggi kekuatannya) dengan cara
memindahkan kepada pihak-pihak yang
lebih lemah dan memungkinkan tidak melakukan perlawanan balik, atas pemindahan
tersebut dirinya merasa terpuaskan.
Mata
rantai displacement
Proses terjadinya mekanisme
pertahanan diri yang berbentuk displacement
tidak terjadi begitu saja, ada sebuah
mata rantai yang mengurainya, yaitu pihak yang menekan (pihak yang kuat), pihak
yang ditekan pertama (pihak yang kurang kuat) dan pihak yang ditekan kedua
(pihak yang lemah). Seperti bendungan, ketika air yang ditampung melebihi
kapasitas, maka secara otomatis air akan mengalir ke berbagai arah.Pihak penekan tidak selamanya dari
atasan, pihak penekan bisa dari orang yang dihormati meskipun bukan atasannya,
bisa saja orang yang ditakuti walaupun tidak ada hubungan apapun. Intinya pihak
penekan sebagai pihak yang kuat adalah pihak yang tidak mungkin dilawan atau
dikalahkan, sebab bila pihak yang menekan tersebut dilawan atau dikalahkan akan
menimbulkan suasana yang lebih tidak menyenangkan. Atas tekanan pihak yang lebih kuat
tersebut menimbulkan kecemasan yang tidak bisa ditahan atau tidak bisa
dikontrol, maka secara otomatis kecemasan tersebut dipindahkan atau dialihkan kepada pihak yang lebih lemah misalnya seorang
pimpinan kepada bawahannya, orang tua kepada anaknya, guru kepada muridnya,
atau dipindahkan dengan cara merusak benda-benda yang ada di sekitarnya.
Mengatasi
Masalah dengan Masalah
Mengatasi
kecemasan melalui displacement
bukannya tidak beresiko, meskipun bisa memindahkan kecemasan tersebut kepada
pihak lain dan sesaat merasakan kepuasan atau ketenangan karena kecemasannya
berkurang, akan menimbulkan bahaya laten bila dilakukan secara terus menerus,
siapapun yang dijadikan tempat pelampiasan kecemasan pada akhirnya merasa
tertekan juga dan suatu saat akan melakukan serangan balik. Pokok
masalah displacement sebenarnya bukan
berpangkal pada orang lain yang disebut pihak yang kuat, akan tetapi pada diri
kita sendiri yang tidak mampu mengendalikan emosi ketika sedang mempunyai beban
yang berat atau ketika dalam situasi tertekan, memang banyak kita jumpai orang
yang mudah menumpahkan kekesalannya kepada
orang lain, namun yang didapati bukanlah terselesaikan masalahnya, tetapi
justru menimbulkan gunjingan dan mendapat julukan orang yang mudah mengumbar
emosi.
Bahkan dalam sebuah unit kerja atau suatu
organisasi, pemimpin yang senantiasa melakukan pertahanan diri dalam bentuk displacement atau menumpahkan kekesalan
emosinya kepada bawahannya atau kepada anggota akan membentuk barisan sakit
hati, menghilangkan simpati dan dijauhi. Terlebih bila penumpahan kekesalan
sang bos tidak ada hubungannya dengan pekerjaan atau tidak ada kaitannya dengan
bawahan. Pemindahan
kekesalan kepada pihak yang lebih rendah atau lebih lemah juga bisa membuat
suasana kurang kondusif dan tidak nyaman, sehingga sebuah organisasi atau
perusahaan yang mempunyai pemimpin tipe ini atau terdapat pribadi-pribadi yang
suka menumpahkan kekesalan kepada orang lain akan sulit berkembang sebab yang
menjadi isu pentingnya adalah isu atau permasalahan pribadi bukan permasalahan
perusahaan atau institusi.
Bila kita tengok motto
pegadaian “mengatasi masalah tanpa
masalah”, maka pertahanan diri berupa displacement ini justru “mengatasi masalah dengan masalah” atau
seperti syair lagu Rhoma Irama “gali lobang tutup
lubang… pinjam uang bayar hutang, gali lubang tutup lubang… sana lunas sini
hutang, gali lubang tutup lubang… tetap saja ada hutang, gali lubang tutup lubang…
hutangnya tak pernah hilang”. Mengatasi masalah dengan menimbulkan masalah baru.
Cenderung anarkhis
Dalam
konteks sosial, displacement
merupakan teori mengatasi konflik dengan menciptakan konflik baru, hal ini
dapat diurai dalam beberapa kasus demonstrasi yang berakhir anarkhis berupa
pengrusakan fasilitas umum atau menghadang bahkan menakut-nakuti atau mengancam
orang yang lalu lalang, hal tersebut disebabkan oleh perasaan kesal, galau,
cemas karena tuntutannya tidak dipenuhi. Sebagaimana
peristiwa tanggal 29 Mei 2012 seperti yang dimuat oleh beritajatim.com. “Hanya dijanjikan bisa
ketemu bapati tangggal 12 Juni 2012, masyarakat Wotgalih Kecamatan
Yosowilanggun membubarkan diri dengan tertib, jam 16.15 WIB. Sebelum bubar,
sejumlah sarana penerangan, papan tulisan kantor bupati, dan replikan kuda
kencak dirusak pedemo”
Lebih lanjut beritajatim.com menulis “Pengamatan beritajatim.com, papan tulisan
kantor bupati berupa huruf terbuat dari seng diporakn-porandakan pendemo yang
kesal karena tidak ditemui Bupati Sjahrazad Masdar. Paving trotoar juga rusak
setelah dicukil beberapa pendemo”.
Jelaslah bahwa apa yang
dilakukan masyarakat desa Wotgalih sebagai luapan emosional karena tidak ditemui
oleh bupatinya, masyarakat tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengrusak fasum. Seperti halnya pengrusakan yang
terjadi di desa kandangan kecamatan senduro, “Perusakan sejumlah rumah terjadi di Desa Kandangan, Kecamatan Senduro,
Kabupaten Lumajang. Massa tiba-tiba melempari sejumlah rumah milik warga.
Belakangan ini situasi di Desa Kandangan tidak kondusif menyusul eksekusi
kepala desa setempat lantaran kasus tukar guling tanah” (www.tempo.co, 14 Mei 2012)
Pengrusakan rumah yang
terjadi di desa Kandangan merupakan pertahanan diri warga desa Kandangan
berbentuk displacement, karena
masyarakat kecewa dengan putusan Pengadilan Negeri Lumajang yang memvonis
kepala desanya dengan hukuman 4 bulan penjara, sementara masyarakat
berkeyakinan bahwa apa yang dilakukan oleh kepala desanya adalah bagian
dari pembelaannya kepada masyarakat,
jadi pengrusakan rumah warga merupakan bentuk pengalihan ketidak berdayaan
melawan penguasa hukum.
Tugas Pendidikan
Inti dari displacement adalah jebolnya pertahanan diri seseorang, baik
disebabkan oleh tekanan yang kuat dari orang lain atau memang rapuhnya
pertahanan itu sendiri. Karenanya tugas pendidikan dalam upaya menghindari atau
paling tidak mengurangi terjadinya displacement
adalah membangun mentalitas yang tangguh bagi para peserta didik. Seseorang
yang bermental tangguh akan senantiasa siap berlaga di segala medan, bahkan
pribadi-pribadi yang tangguh senantiasa mencari tantangan untuk menggairahkan
kehidupannya. Sehingga tantangan bagi orang yang bermental tangguh merupakan
peluang, peluang untuk membuktikan dirinya terbaik.
Karenanya pendidikan
berkewajiban untuk memberikan bekal kepada para peserta didiknya agar mempunyai
kecerdasan emosional. Menurut Weisinger
dalam bukunya Emotional at Work :
Pemandu Pikiran dan Perilaku Anda Untuk Meraih Kesuksesan, bahwa kecerdasan
emosi dapat digunakan untuk kepentingan intrapersonal (membantu diri sendiri)
dan juga interpersonal (membantu orang lain). Secara intrapersonal para peserta didik yang cerdas emosionalnya
mampu mengelola emosinya dengan baik, mampu mengekspresikan emosi secara tepat
dan mampu menumbuhkan semangat dalam diri sendiri. Sedangkan secara
interpersonal mampu melakukan hubungan dengan orang lain secara baik, mampu
memahami apa yang sedang dirasakan oleh orang lain, mampu memahami apa yang
dibutuhkan orang lain dan bisa berkomunikasi secara baik dengan orang lain.
Para
guru bisa melihat gejala atau tanda-tanda siswa yang sedang melakukan displacement ketika di sekolah, di
antara tanda-tandanya adalah ; suka menjahili kepada sesama siswa dan sangat
senang bila yang dijahili meresponnya dengan kemarahan. Bisa juga suka menggoda
guru yang berkepribadian lembek baik melalui pertanyaan ataupun ulahnya yang
bikin gregetan. Dan kadang suka melakukan corat-coret atau merusak fasilitas
sekolah. Bila
sudah didapati salah satu tanda tersebut dia atas, maka guru berkewajiban untuk
melakukan tindakan pencegahan dan menyadaran, tentu bukan menghukum, tetapi
dengan cara menggali isi hati siswa tersebut dan mencari penyebabnya. Sebab
bila dibiarkan berakibat buruk bagi siswa itu sendiri yaitu emosinya semakin
sulit dikontrol dan mengganggu prestasinya, dan bagi sekolah akan berpengaruh
dengan emosi siswa lain dan suasana sekolah yang kurang nyaman karena banyaknya
fasilitas yang dirusak.
Pada akhirnya hasil dari
pendidikan diharapkan bisa memberikan pengertingan dan perubahan perilaku
pentingnya mengelola emosi agar tidak mudah terjebak pada kesenangan sesaat dan
melakukan intimidasi kepada orang lain. Berikutnya muncul kesadaran bahwa dalam
hidup bermasyarakat ada resiko-resiko yang harus diterima seperti hinaan,
makian dan lainnya. Akan tetapi hinaan dan makian tidak akan menjadikan diri
terhina dan direndahkan, dengan emosi yang positif semuanya itu dijadikan
sarana evaluasi dan pematangan sikap. Sehingga bisa menjalani hidup dengan
riang gembira.
Hamim
T. Majdi
Magister
Psikologi Pendidikan
Direktur
LPDK Argopani Cendekia Lumajang
0 komentar:
Post a Comment