Monday, April 1, 2013

Melejitkan Kecerdasan Majemuk Peserta Didik 1


 Oleh : Hamim Thohari Majdi
(Bagian Pertama)
Di kalangan pendidik atau secara luas dalam dunia pendidikan, istilah kecerdasan majemuk (multiple Intellegence) atau MI bukanlah sesuatu yang baru. Bahkan beberapa sekolah di kabupaten Lumajang memasukkan kecerdasan majemuk dalam visi misinya, misalnya SMPN1 Lumajang salah satu misinya berbunyi : “Mewujudkan proses pendidikan yang berkualitas, efektif dan relevan sehingga siswa memiliki kecakapan hidup yang dikembangkan berdasarkan multi intelegensi mereka”
Ditemukannya kecerdasan majemuk oleh  Howard Gardner pada tahun 1983, memberikan harapan baru bagi peningkatan kualitas sumber daya manusia.
 Dengan ukuran kecerdasan intelektual proses kegiatan belajar mengajar melahirkan satu bintang kelas, dengan menggunakan ukuran kecerdasan majemuk kegiatan belajar mengajar melahirkan banyak sang juara
IQ dan MI
            Kecerdasan atau intelegensi sebagaimana yang ditulis Dayakisni dan Yuniardi, berasal dari kata Latin intellegentia yang pertama kali digunakan oleh Cicero ahli pidato dari Romawi mempunyai makna  sejumlah kemampuan, keahlian, talenta dan pengetahuan yang keseluruhannya merujuk kepada kemampuan kognitif dan proses mental
            Ruang lingkup kecerdasan meliputi ; memori (seberapa baik dan seberapa banyak serta seberapa lama mengingat suatu informasi), kekayaan kosa kata (seberapa banyak kosa kata yang diketahui dan mampu digunakan dengan tepat), kemampuan komprehensip (seberapa baik memahami serangkaian ide dan pernyataan), kemampuan matetamis (penambahan, pembagian dan sebagainya), serta berpikir logis (seberapa baik menangkap keurutan peristiwa dan melogikanya).
Alfred Binet yang dikenal sebagai pelopor dalam menyusun tes IQ (Intelligence Quotient) sebagaimana yang ditulis Effendi dan Praja, intelegensi mempunyai tiga aspek kemampuan yaitu ;
  1. Direction, kemampuan untuk memusatkan pada suatu masalah yang harus dipecahkan
  2. Adaptation, kemampuan untuk mengadakan adaptasi terhadap masalah yang dihadapinya atau fleksibel dalam menghadapi masalah
  3. Critisism, kemampuan untuk mengadakan kritik, baik terhadap masalah yang dihadapi maupun terhadap dirinya sendiri
Untuk mengetahui atau menentukan cerdas tidaknya seseorang, Alfred Binet menyusun tes yang disebut tes intelegensi (tes IQ) dengan empat bidang kemampuan intelektual yaitu ; penalaran verbal, penalaran abstrak/visual, penalaran kuantitatif dan memori jangka pendek
Tingkat kecerdasan seseorang dapat dilihat dari hasil tes sebagai berikut :
1.      Mereka yang IQ-nya di bawah 70 disebut cacat mental atau lemah pikiran (feeble minded) dengan sebutan ideot, embisil dan moron (debil)
2.      Inferior, pribadi yang terbelakang dengan IQ 70-90
3.      Bodoh, agak lambat dalam mencerna pelajaran, agak sulit menyelesaikan pendidikan SLTA dengan IQ 80-89
4.      Normal/rata-rata dengan IQ 90-109
5.      Pandai, mampu menyelesaikan pendidikan tingkat perguruan tinggi
6.      Superior, lebih cakap membaca, berhitung, perbendaharaan bahasanya luas, cepat memahami pengertian yang abstrak dengan IQ 120-129
7.      Sangat superior, dengan IQ 130-139
8.      Gifted, menonjol dan terkenal, hasil studinya memuaskan, jabatan yang dipegangnya banyak, dan jarang sakit atau meninggal dunia pada usia muda dengan IQ 140-179
9.      Genius, bakatnya sudah tampak  sejak kecil, mempunyai kecerdasan yang sangat luar biasa. Walaupun tidak sekolah mereka mampu menemukan dan memecahkan suatu masalah dengan IQ 180 ke atas
Bila diklasifikasi atau diranking, maka kecerdasan intelektual terdiri dari ; tidak cerdas (bodoh), cerdas (biasa-biasa saja) dan sangat cerdas (genius). Dalam dunia pendidikan tes IQ biasanya digunakan sebagai salah satu alat untuk menyaring calon peserta didik dan yang paling diburu adalah  yang IQ-nya 140 ke atas,
Di bidang akademik, mereka yang sangat cerdas selalu menjadi bintang kelas dan selalu mendapat pujian dan penghargaan. Sedang mereka yang biasa-biasa saja apalagi yang tidak cerdas dianggap sebagai problem maker alias biang kerok, penghambat kegiatan belajar mengajar.
Bagi yang cerdas dan yang sangat cerdas selalu mendapat tempat dalam dunia pendidikan, bagi yang tidak cerdas selalu terasing dan dipandang sebelah mata, menjadi bahan gunjingan dan ejekan. Sebutan ekstrim pintar dan bodoh inilah yang menjadi alasan Howard Gardner melakukan penelitian
Menurut Howard Gardner sebagaimana yang ditulis Thomas Amstrong, bahwa indikator kecerdasan tidaklah satu (hanya cerdas IQ saja) melainkan banyak. Gardner melakukan penelitian kepada anak-anak maupun orang dewasa untuk menemukan lebih banyak tentang bagaimana manusia itu belajar. Dan ditemukan ternayata tampaknya manusia belajar dan menunjukkan kecerdasannya dalam berbagai cara
Terkait dengan struktur otak, Gardner juga memperhatikan, bahwa bagian otak yang berbeda-beda menentukan berbagai indikator kecerdasan yang berbeda-beda pula, sehingga otak mempunyai cakupan kemampuan yang luas kemudian  oleh Gradner disebut sebagai kecerdasan majemuk (multiple intelligences/MI)
Howard Gardner menemukan, bahwa dalam diri manusia sedikitnya terdapat delapan jenis kecerdasan, yaitu ;
  1. Kecerdasan verbal/bahasa (verbal linguistic intelligence):
  2. Kecerdasan logika/matematik (logical/mathematical intelligence)
  3. Kecerdasan visual/ruang  (visual/spatial intelligence)
  4. Kecerdasan tubuh/gerak (body/ kinesthetic intelligence)
  5.  Kecerdasan musikal/ritmik (musical/rhythmic intelligence)
  6. Kecerdasan interpersonal (interpersonal intelligence)
  7. Kecerdasan intrapersonal (intrapersonal intelligence)
  8. Kecerdasan naturalis (naturalistic intelligence)

  Fungsi Kecerdasan Majemuk
Menurut Munif Chatib, kecerdasan seseorang adalah proses kerja otak seseorang , sampai seseorang itu menemukan kondisi akhir terbaiknya. Terkadang, kondisi akhir terbaik seseorang itu tidak terbatas pada satu kondisi saja. Penulis novel terlaris dunia J.K. Rowling, menemukan kondisi akhir terbaik sebagai penulis pada usia 43 tahun dan terus berkembang. Sementara itu, Stevie Wonder menemukan kondisi akhir terbaiknya sebagai pemusik pada usia 10 tahun dan terus berkembang
Lebih lanjut, Munif Chatib menyebut, dengan mengetahui kecerdasan majemuk seawal mungkin, seseorang dapat menemukan kondisi akhir terbaiknya lebih cepat. Selain itu, pengetahuan tentang kecerdasan majemuk dapat mendorong seseorang untuk bergerak dan menemukan kondisi terbaik berikutnya
Howard Gardner  melalui teori kecerdasan majemuk ingin menegaskan bahwa :
1.      Semua orang memiliki delapan jenis kecerdasan, hanya kapasitasnya yang berbeda.
2.      Semua orang memiliki potensi untuk mengembangkan delapan kecerdasan tersebut, asalkan mendapat dorongan, pengajaran, dan pengayaan yang sesuai.
3.      Antar kecerdasan selalu bekerjasama dan berinteraksi  
4.      Ada banyak cara yang dapat dilakukan agar menjadi cerdas dalam setiap kategori
            Melalui proses pencarian hingga penemuan kemampuan atau yang disebut dengan discovering ability, akan ditemukan kecenderungan-kecenderungan pada salah satu atau beberapa jenis kecerdasan. Kecerdasan majemuk menyakini bahwa semua orang cerdas dan tidak ada orang yang bodoh
Tak Kenal maka Tak Sayang
            Di awal pertemuan banyak orang yang menggunakan pepatah “tak kenal, maka tak sayang” sebagai alasan untuk memperkenalkan diri kepada orang yang baru dijumpai, tidak terkecuali para guru baru yang ingin “disayang muridnya” dengan terlebih dahulu mengenalkan diri
            Sayang, perkenalan guru dengan murid sering bertepuk sebelah tangan, sang guru  ingin lebih dikenal oleh para muridnya dari pada sang guru mengenal (karakter atau potensi kecerdasan) muridnya. Pun toh bila guru mengenali muridnya tidak lebih dari identitas diri saja, di antaranya ;  nama lengkap, nama panggilan, alamat dan keluarganya
            Bila merujuk kepada Multiple Intellegences System (MIS) dan Multiple Intellegences Research (MIR), maka penggunaan pepatah tersebut sangatlah tepat digunakan bagi guru untuk mengenal lebih jauh karakter dan potensi kecerdasan yang dimiliki siswanya , sebagaimana yang dinyatakan Gardner bahwa ada kaitan antara kecenderungan kecerdasan yang dimiliki siswa dengan gaya belajarnya
            Dalam pandangan Munif Chatib, banyaknya kegagalan siswa mencerna informasi dari gurunya disebabkan ketidaksesuaian gaya mengajar guru dengan gaya belajar siswa. Sebaliknya, apabila gaya mengajar guru sesuai dengan gaya belajar siswa semua pelajaran akan terasa sangat mudah dan menyenangkan. Guru juga senang karena punya siswa yang semuanya cerdas dan perpotensi untuk sukses pada jenis kecerdasan yang dimiliki
            Rasa sayang yang dalam guru kepada siswa tentu akan melahirkan semangat agar bisa memberikan atau melakukan yang terbaik untuk siswanya, sehingga sang guru senantiasa berusaha mencari cara agar informasi yang diberikan bisa diterima oleh siswanya, dan itu bisa dilakukan dengan cara menggunakan MIR
            MIR adalah riset yang luar biasa untuk membantu guru menemukan gaya belajar siswa dan ini dilakukan sebelum pembelajaran dimulai (akan lebih baik bila dilakukan ketika penerimaan siswa baru). Menurut Munif Chatib, MIR yang dilakukan secara berkala terhadap siswa dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar akan menjadi akselerator baginya untuk menentukan kondisi terbaik
            MIR bukanlah alat tes seleksi masuk (menentukan diterima atau tidak), melainkan sebuah riset yang ditujukan kepada siswa dan orang tuanya untuk mengetahui kecenderungan kecerdasan siswa yang paling menonjol dan berpengaruh. Melalui MIR siswa dan guru dapat mengetahui banyak hal, seperti grafik kecenderungan kecerdasan siswa, gaya belajar siswa, dan kegiatan kreatif yang disarankan, yang berbeda antara satu siswa dan siswa lain

Efek Pembelajaran MI
            Seperti halnya obat yang berfungsi untuk mengurangi atau menyembuhkan penyakit pasti setiap obat mempunyai dampak yang tidak menyenangkan yang disebut efek samping. Begitu juga pembelajaran MI. Seperti yang disampaikan Venti Dewi Kristianti, guru seni budaya dan Kreasi SD YIMA Bondowoso, MI memang sangat bagus karena sistem pembelajarannya sangat unik, menyenangkan dan anak-anak terlibat langsung. Jadi murid tidak hanya duduk, diam, dan semata mendengarkan guru yang mengoceh di depan kelas. Semua siswa dan guru terjun langsung dalam sistem pembelajaran yang lebih sering di luar kelas dengan permainan, kuis, diskusi, menyanyi, menari atau cara yang lain yang menarik sehingga anak-anak merasa enjoy
            Sedangkan efek samping pembelajaran MI adalah siswa yang terbiasa dengan sistem yang lebih mengutamakan psikomotorik, sehingga mereka akan cepat bosan dan tidak begitu suka apabila menggunakan sistem pembelajaran yang menggunakan ranah kognitif. Ini terlihat saat siswa mengerjakan soal atau pada waktu ujian semester, banyak yang jenuh dan menjawab ala kadarnya
            Dengan adanya efek samping tidak berarti harus dihindari atau mempertegas alasan guru untuk tidak menggunakan pembelajaran MI, maka bagi guru yang kreatif, yang menyukai tantangan dan ingin mencoba atau menemukan hal-hal yang baru, pembelajarn MI menjadi daya tarik tersendiri dan dianggap sebagai peluang untuk memberikan yang terbaik buat siswa dan profesinya, sehingga tema ulang tahun PGRI tahun 2012 yaitu menyiapkan generasi emas benar-benar terwujud (bersambung)
Hamim Thohari Majdi
Magister Psikologi Pendidikan
Direktur LPDK Argopani Lumajang



0 komentar:

Post a Comment